Minggu, 16 Mei 2010

Perilaku Berlebihan dalam Politik Dunia Kerja

Apa yang bakal terjadi kalau ada seorang politikus menyinggung perilaku kepemimpinan lawan politiknya? Entah itu yang menyangkut kebijakan ekonomi, kebijakan sosial, pendidikan, politik, maupun hankam. Kalau dalam dunia politik sepertinya hal itu biasa terjadi. Apalagi kalau suhu politik sudah mulai memanas seperti sekarang ini; menjelang pemilu 2009. Terjadinya perdebatan-perdebatan antarelit politik menjelang pemilihan anggota caleg dan pemilihan presiden adalah wajar. Bahkan perbedaan pandangan dan saling kontrol antarpartai asyik-asyik saja sepanjang dilakukan secara rasional, substantif, obyektif, dan terbuka. Idealnya proses perdebatan itu dapat meningkatkan kognisi dan kesadaran masyarakat dalam berpolitik sekaligus efektifitas pendidikan politik.

Pendidikan politik pun dapat dilihat dari isi serangan dan reaksi elit politik kalau ada serangan dari pihak ”lawan”. Pasti ada respon balik. Hal itu wajar yang dicerminkan dengan reaksi politikus kepada orang yang telah melecehkannya. Bergantung pada kadar (lingkup dan isi) pelecehan politik maka reaksi bersangkutan bisa berujud diam saja tanpa merenung, diam saja sambil merenung mengapa ada seseorang yang “melecehkan”, menegur yang bersangkutan secara individual, sampai menegur secara frontal dan kembali balik menyerang lawan-lawannya. Istilah untuk yang terakhir itu adalah perilaku berlebihan. Mudah kebakaran jenggot (untuk pria atau wanita?). Padahal sebagai orang yang dianggap matang dalam berpolitik mereka yang diserang tak perlu memberi reaksi berlebihan. Sebaliknya yang menyerang pun harus memiliki argumentasi yang substansial dan obyektif.

Bagi yang diserang, justru isi pelecehan itu seharusnya dipelajari dan dimanfaatkan untuk evaluasi diri partainya. Kalau berlebihan, bisa-bisa hilang kendali. Sementara di ujung sana pihak lawan yang menyerangnya tersenyum sambil bilang ”nah kepancing kan?”. Dan tentu saja reaksi berlebihan dari yang menyerang dan yang diserang akan menuai fenomena yang kontra produktif. Kita masih ingat ketika perdebatan antarkandidat presiden Barrack Obama (Partai Demokrat) dan Mc Cain (Partai Republik). Mereka saling menyerang konsep kebijakan masing-masing kandidat. Dan itu hal yang biasa. Tak ada yang sakit hati diantara keduanya. Bahkan keduanya saling beperlukan hangat ketika perdebatan usai dilakukan. Bagaimana di Indonesia?

Ternyata perdebatan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya elegan. Ada saja yang isinya nyaris menyangkut pada hal-hal bersifat pribadi. Kemudian dibalas dengan balik menyerang yang isinya cenderung sama yakni pribadi. Baik yang menyerang maupun yang diserang tampaknya harus manahan diri. Kalau tidak maka buah dari proses perdebatan yang ngawur sama saja bakal terjadi pembodohan politik. Terjadilah kehidupan politik tanpa pendidikan politik yang sehat. Apalagi ketika pascapemilu dan pascapemilihan presiden. Kalau terjadi ketidakjujuran dari para pemimpinnya maka yang terlihat adalah pengabaian janji-janji manisnya kepada konstituennya. Munculah sifat-sifat pragmatisme, golonganisme, hedonisme, rakusnisme, dendamisme, dan tidurisme di kalangan elit politik. Padahal proses pendidikan politik sejatinya harus memungkinkan setiap calon dapat benar-benar tampil sebagai pemimpin bermutu secara berkelanjutan.

Serangan dan reaksi berlebihan dalam bahasa psikologi termasuk respon dari seseorang terhadap sesuatu yang dialaminya secara tidak proporsional. Kalau ada yang menyinggung perasaannya maka reaksinya bisa berupa kehawatiran dan ketakutan yang berlebihan. Biasanya karena yang diserang tidak memahami apa isi ”serangan” secara subtansi. Sering apriori terhadap setiap koreksi dari luar. Dengan kata lain tingkat kematangan untuk menerima pandangan yang berbeda tidak siap.

Jadi disini pentingnya penguasaan EQ oleh seseorang dalam kehidupan apapun termasuk di dunia politik. Empat elemen utama EQ (Goleman; 1995) yang dimaksud adalah kesadaran tentang diri sendiri (self awareness), pengelolaan diri sendiri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan kecakapan sosial atau bermasyarakat (social skills). Contoh keseharian dalam hal EQ adalah kemampuan berpikir positif terhadap orang lain, empati, bertanggung jawab, berinteraksi sosial, mudah menahan emosi marah dan kebencian atau pengendalian diri, kerjasama, kecakapan sosial, semangat dan motivasi, dan menghargai orang lain.

Kemampuan politikus atau pemimpin bangsa dalam penguasaan EQ akan semakin lengkap lagi kalau dia memiliki SQ. Dengan SQ seseorang dapat mengefektifkan IQ dan EQ yang dimilikinya dengan rambu-rambu sistem nilai agama dan kemanusiaan. Karena itu dia mampu memaknai hidup dan kehidupan dalam konteks yang lebih luas. Misalnya keseimbangan hidup untuk dunia dan untuk akhirat. Menghargai sesama rekan kekuatan politik lainnya sebagai mahluk Tuhan. Dengan kata lain tidak berperilaku sombong dan sebaliknya selalu rendah hati. Orang seperti ini juga pandai bersyukur atas karunia Tuhan. Dan takut kepada-Nya kalau akan berbuat buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar